Di suatu sore hari pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik, seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip disela-sela kepadatan kendaraan disebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta.
Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut,ia menyapa akrab setiap orang, dari tukang koran, penyapu jalan, tuna wisma sampai pak polisi.
Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiranku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya. Apakah dia berjualan? Kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau…?? Untuk membunuh rasa penasaranku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai diseberang jalan, setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang.
“De, boleh kakak bertanya?”
“Silahkan kak.”
“Kalau boleh tahu yang barusan adik bagikan ketukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa?“
“Oh… itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak, memang kenapa kak?“ Dengan sedikit heran ia balik bertanya.
“Oh.. tidak. Kakak cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka?”
Lalu adik kecil ini mulai bercerita, “Dulu, aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma, setiap hari bekerja hanya mengharapkan belaskasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan, apabila kami mengingat waktu dulu, kami sangat-sangat sedih, namun setelah ibu ku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik.”
“Maka dari itu ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu, jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup, kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka.”
Yang ibu ku selalu katakan “Hidup harus berarti buat banyak orang“, karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu Kasih kepada sesama serta Amal dan Perbuatan Baik kita. Kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang, kenapa kita harus tunda.
Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat, hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta. Apa yang kita bawa?
Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hati ku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya, dibandingkan adik kecil ini.
Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Ya.. Tuhan, Ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu.
Hanya Kasih yang sempurna serta Iman kepada Mu lah yang dapat mengiringiku masuk ke Surga. Terima kasih adik kecil, kamu adalah malaikat ku, yang menyadarkan aku dari tidur nyenyak ku.
(Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersuka cita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran)
Lakukanlah perkara-perkara kecil, dengan membagikan cerita ini kepada semua orang, semoga hasil yang didapat dari hal yang kecil ini berdampak besar buat banyak orang.
sumber : http://www.kaskus.us/showpost.php?p=114097693&postcount=58
Tuesday, January 26, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment